Jumat, 07 Februari 2014

KKISAH NABI IBRAHIM Part 2



Nabi Ibrahim As Mencari Tuhan kemudian Menemukan Alloh
Pada suatu malam Nabi Ibrahim memperhatikan langit kemudian beliau melihat-lihat berbagai bintang yang disembah di bumi. Saat itu hati Nabi Ibrahim—sebagai pemuda yang masih belia— merasakan kesedihan yang luar biasa. Lalu beliau melihat apa yang di belakang bulan dan bintang. Hal itu sangat mengagumkannya. Mengapa manusia justru menyembah ciptaan Tuhan? Bukankah semua itu muncul dan tenggelam dengan izin-Nya. Nabi Ibrahim mengalami dialog internal dalam dirinya.
 Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am:
"Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.' Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan Kami (memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,' tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: 'Saya tidak suka kepada yang tenggelam.'" (QS. al-An'am: 74-76)
Al-Qur'an tidak menceritakan kepada kita peristiwa atau suasana yang dialami Ibrahim saat menyatakan sikapnya dalam hal itu, tapi kita merasa dari konteks ayat tersebut bahwa pengumuman ini terjadi di antara kaumnya. Dan tampak bahwa kaumnya merasa puas dengan hal tersebut. Mereka mengira bahwa Ibrahim menolak penyembahan berhala dan cenderung pada penyembahan bintang. Kita ketahui bahwa di zaman Nabi Ibrahim manusia menjadi tiga bagian. Sebagian mereka menyembah berhala sebagian lagi me­nyembah bintang, dan sebagian yang lain menyembah para raja. Namun di saat pagi, Nabi Ibrahim mengingatkan kaumnya dan membuat mereka terkejut di mana bintang-bintang yang diyakininya kemarin kini telah tenggelam. Ibrahim mengatakan bahwa ia tidak menyukai yang tenggelam. Allah SWT berfirman:
"Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: 'Saya tidak suka kepada yang tenggelam '" (QS. al-An'am: 76)
Ibrahim kembali merenung dan memberitahukan kaumnya pada malam kedua bahwa bulan adalah tuhannnya. Kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui atau tidak memiliki kapasitas logika yang cukup atau kecerdasan yang cukup, bahwa sebenarnya Ibrahim ingin menyadarkan dengan cara sangat lembut dan dan penuh cinta. Bagaimana mereka menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul atau terkadang terbit dan ter­kadang tenggelam. Mula-mula kaum Nabi Ibrahim tidak mengeta­hui yang demikian itu. Pertama-tama Ibrahim menyanjung bulan tetapi ternyata bulan seperti bintang yang lain, ia pun muncul dan tenggelam. Allah SWT berfirman:
"Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan terbit dia berkata: 'Ini­lah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: 'Sesung­guhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.'" (QS. al-An'am: 77)
Kita perhatikan di sini bahwa beliau berbicara dengan kaumnya tentang penolakan penyembahan terhadap bulan. Ibrahim berhasil "merobek" keyakinan terhadap penyembahan bulan dengan penuh kelembutan dan ketenangan. Bagaimana manusia menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi dan terkadang muncul. Sungguh, kata Ibrahim, betapa aku membayangkan apa yang terjadi padaku jika Tuhan tidak membimbingku. Nabi Ibrahim mengisyaratkan kepada mereka bahwa beliau memiliki Tuhan, bukan seperti tuhan-tuhan yang mereka sembah. Namun lagi-lagi mereka belum mampu menangkap isyarat Nabi Ibrahim. Beliau pun kembali menggunakan argumentasi untuk menundukkan kelompok pertama dari kaum penyembah bintang yang tampak lebih besar yakni matahari. Ibrahim berdialog dengan penyembah matahari. Beliau memberitahukan bahwa matahari adalah tuhannya karena dia yang terbesar. Allah SWT berfirman:
"Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.' Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: 'Hai kaumkku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'" (QS. al-An'am: 78-79)
Lagi-lagi Ibrahim memainkan peran yang penting dalam rangka menggugah pikiran mereka. Para penyembah matahari tidak mengetahui bahwa mereka menyembah makhluk. Jika mere­ka mengira bahwa ia adalah besar, maka Allah SWT Maha Besar.
Setelah Ibrahim memberitahukan bahwa matahari adalah tuhannya, beliau menunggu saat yang tepat sehingga matahari itu tenggelam dan ternyata benar dia bagaikan sembahan-sembahan yang lain yang suatu saat akan tenggelam. Setelah itu Ibrahim memploklamirkan bahwa beliau terbebas dari penyembahan bintang. Ibrahim mulai memandang dan memberikan pengarahan kepada kaumnya bahwa di sana ada Pencipta langit dan bumi. Argumen­tasi Ibrahim mampu memunculkan kebenaran, tetapi sebagaimana biasa kebatilan tidak tunduk begitu saja. Mereka mulai menampakkan taringnya dan mulai menggugat keberadaan dan kenekatan Ibrahim as. Mereka mulai menentang Nabi Ibrahim dan mulai mendebatnya dan bahkan mengancamnya. Hal ini dapat kita lihat dalam QS. al-An'am: 80-81.
Kita tidak mengetahui sampai sejauh mana ketajaman pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan bagaimana cara mereka menakut-nakuti Nabi Ibrahim. Al-Qur'an tidak menyinggung hal tersebut. Namun yang jelas, dari cerita tersebut, Al-Qur'an mengemukakan bahwa Nabi Ibrahim menggunakan logika seseorang yang berpikir sehat. Menghadapi berbagai tantangan dan ancaman dari kaumnya, Nabi Ibrahim justru mendapatkan kedamaian dan tidak takut kepada mereka, seperti yang tertuang dalam firman Allah QS. al-An'am: 82.
Bahkan Allah SWT selalu memberikan hujah atau argumentasi yang kuat kepada Nabi Ibrahim sehingga beliau mampu menghadapi kaumnya. Allah SWT berfirman: "Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. " (QS. al-An'am: 83)
Ibrahim didukung oleh Allah SWT dan diperlihatkan kerajaan langit dan bumi. Demikianlah Nabi Ibrahim terus melanjutkan penentangan pada penyembahan berhala. Tentu saat itu pergulatan dan pertentangan antara beliau dan kaumnya semakin tajam dan semakin meluas. Namun beban yang paling berat adalah saat beliau harus berhadapan dengan ayahnya, di mana profesi si ayah dan rahasia kedudukannya merupakan biang keladi dari segala penyembahan yang diikuti mayoritas kaumnya. Nabi Ibrahim pun berdakwah kepada bapak dan kepada kaumnya. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Anbiya': 52-56.
Nabi Ibrahim As Berdakwah kepada Ayahnya
Dari sini mulailah terjadi pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya. Tentu yang termasuk orang yang paling menentang beliau dan marah kepada sikap beliau itu adalah ayahnya atau pamannya yang mendidiknya laksana seorang ayah. Akhirnya, si ayah dan si anak terlibat dalam pergulatan yang sengit di mana kedua-duanya dipisahkan oleh prinsip-prinsip yang berbeda. Si anak bertengger di puncak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah berdiri bersama kebatilan. Si ayah berkata kepa­da anaknya: "Sungguh besar ujianku kepadamu wahai Ibrahim. Engkau telah berkhianat kepadaku dan bersikap tidak terpuji kepadaku." Ibrahim menjawab:
"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan, sesung­guhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.'" (QS. Maryam: 42-45)
Sang ayah segera bangkit dan ia tak kuasa lagi untuk meledakkan amarahnya kepada Ibrahim:
"Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan aku rajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS. Maryam: 46)
Akhirnya, pertentangan itu membawa akibat pengusiran Nabi Ibrahim dari rumahnya, dan beliau pun terancam pembunuhan dan perajaman. Meskipun demikian, sikap Nabi Ibrahim tidak pernah berubah. Beliau tetap menjadi anak yang baik dan Nabi yang mulia. Beliau berdialog dengan ayahnya dengan menggunakan adab para nabi dan etika para nabi. Ketika mendengar penghinaan, pengusiran, dan ancaman pembunuhan dari ayahnya, beliau berkata dengan lembut:
"Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.'" (QS. Maryam: 47-48)
Nabi Ibrahim pun keluar dari rumah ayahnya. Beliau meninggalkan kaumnya dan sesembahan-sembahan selain Allah SWT. Namun beliau menetapkan suatu urusan dalam dirinya, beliau menunggu sebuah pesta besar yang akan menjadi tindakan yang akan ia lakukan sesuatu padanya.

Menghancurkan berhala-berhala
Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk kerajaan Babilonia bahwa setiap tahun mereka keluar kota beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka anggap sebagai keramat. Berhari-hari mereka tinggal diluar kota di suatu padang terbuka, berkemah dengan membawa perbekalan makanan dan minuman yang cukup. Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan kota-kota mereka kosong dan sunyi. Mereka berseru dan mengajak semua penduduk agar keluar meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu. Jalan-jalan yang menuju tempat penyembahan menjadi sepi dan tempat penyembahan itu pun ditinggalkan oleh penjaganya. Semua orang mengikuti pesta itu.
Dengan penuh hati-hati, Ibrahim memasuki tempat penyembahan dengan membawa kapak yang tajam. Ibrahim melihat patung-patung tuhan yang terukir dari batu-batu dan kayu-kayu. Ibrahim pun melihat makanan yang diletakkan oleh manusia di depannya sebagai hadiah dan nazar. Ibrahim mendekat pada patung-patung itu. Kepada salah satu patung—dengan nada bercanda—ia berkata: "Makanan yang ada di depanmu hai patung telah dingin. Mengapa engkau tidak memakannya. Namun patung itu tetap membisu." Ibrahim pun bertanya kepada patung-patung lain di sekitarnya. Hal ini terdapat dalam QS. ash-Shaffat: 91.
Ibrahim mengejek patung-patung itu. Ibrahim mengetahui bahwa patung itu memang tidak dapat memakannya. Ibrahim bertanya kepada patung-patung itu:
"Mengapa kamu tidak menjawab?" (QS. ash-Shaffat: 92)
Ibrahim pun langsung mengangkat kapak yang ada di tangannya dan mulai menghancurkan tuhan-tuhan yang palsu yang disembah oleh manusia. Ibrahim menghancurkan seluruh patung-patung itu dan hanya menyisakan satu patung, lalu beliau menggantungkan kapak itu dilehernya. Setelah melaksanakan tugas itu, beliau pergi menuju ke gunung. Beliau telah bersumpah untuk membawa suatu bukti yang jelas, bahkan bukti praktis tentang kebodohan kaumnya dalam menyembah selain Allah SWT.
Akhirnya, pesta perayaan itu selesai dan manusia kembali ke tempat mereka masing-masing. Dan ketika salah seorang masuk ke tempat sembahan itu ia pun berteriak. Manusia-manusia datang menolongnya dan ingin mengetahui apa sebab di balik teriakan itu. Dan mereka mengetahui bahwa tuhan-tuhan mereka semuanya telah hancur dan yang tersisa hanya satu. Mereka mulai berpikir siapa penyebab semua ini. Akhirnya mereka pun mengetahui dan menyadari bahwa ini adalah ulah Ibrahim yang telah mengajak mereka untuk me­nyembah Allah SWT:
"Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim"." (QS. al-Anbiya': 60)
Mereka segera mendatangi Ibrahim. Ketika Ibrahim datang mereka bertanya kepadanya: "Mereka bertanya: "Apakah benar engkau yang melakukan semua ini terhadap tuhan kami wahai Ibrahim?" (QS. al-Anbiya': 62) Ibrahim membalas dengan senyuman lalu ia menunjuk kepada tuhan yang paling besar yang tergantung di lehernya sebuah kapak. Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". " (QS. al-Anbiya': 63)
Para dukun berkata: "Siapa yang harus kita tanya?" Ibrahim menjawab: "Tanyalah kepada tuhan kalian." Kemudian mereka berkata: "Bukankah engkau mengetahui bahwa tuhan-tuhan itu tidak berbicara." Ibrahim membalas: "Mengapa kalian menyembah se­suatu yang tidak mampu berbicara, sesuatu yang tidak mampu memberikan manfaat dan sesuatu yang tidak mampu memberikan mudarat. Tidakkah kalian mau berpikir sebentar di mana letak akal kalian. Sungguh tuhan-tuhan kalian telah hancur sementara tuhan yang paling besar berdiri dan hanya memandanginya. Tuhan-tuhan itu tidak mampu menghindarkan gangguan dari diri mereka, dan bagaimana mereka dapat mendatangkan kebaikan buat kalian. Tidakkah kalian mau berpikir sejenak. Kapak itu tergantung dituhan yang paling besar tetapi anehnya dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi. Ia tidak mampu berbicara, tidak mendengar, tidak bergerak, tidak melihat, tidak memberikan manfaat, dan tidak membahayakan. Ia hanya sekadar batu, lalu mengapa manusia menyembah batu? Di mana letak akal pikiran yang sehat?" Allah SWT menceritakan peristiwa tersebut dalam firman-Nya QS. al-Anbiya': 51-68
Nabi Ibrahim mampu menundukkan mereka dengan argumentasi dan logika berpikir yang sehat. Tetapi mereka membalasnya dengan menetapkan akan menggantungnya di dalam api. Sungguh ini sangat mengherankan. Suatu mahkamah yang mengerikan digelar di mana si tertuduh akan dihukum dengan pembakaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar