Nabi
Ibrahim As Mencari Tuhan kemudian Menemukan Alloh
Pada suatu malam Nabi Ibrahim memperhatikan langit
kemudian beliau melihat-lihat berbagai bintang yang disembah di bumi. Saat itu
hati Nabi Ibrahim—sebagai pemuda yang masih belia— merasakan kesedihan yang
luar biasa. Lalu beliau melihat apa yang di belakang bulan dan bintang. Hal itu
sangat mengagumkannya. Mengapa manusia justru menyembah ciptaan Tuhan? Bukankah
semua itu muncul dan tenggelam dengan izin-Nya. Nabi Ibrahim mengalami dialog
internal dalam dirinya.
Allah SWT berfirman
dalam surah al-An'am:
"Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata
kepada bapaknya Azar: 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai
tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata.' Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan Kami (memperlihatkannya) agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam menjadi gelap, dia
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,' tetapi tatkala
bintang itu tenggelam, dia berkata: 'Saya tidak suka kepada yang
tenggelam.'" (QS. al-An'am: 74-76)
Al-Qur'an tidak menceritakan kepada kita peristiwa
atau suasana yang dialami Ibrahim saat menyatakan sikapnya dalam hal itu, tapi
kita merasa dari konteks ayat tersebut bahwa pengumuman ini terjadi di antara
kaumnya. Dan tampak bahwa kaumnya merasa puas dengan hal tersebut. Mereka
mengira bahwa Ibrahim menolak penyembahan berhala dan cenderung pada penyembahan
bintang. Kita ketahui bahwa di zaman Nabi Ibrahim manusia menjadi tiga bagian.
Sebagian mereka menyembah berhala sebagian lagi menyembah bintang, dan
sebagian yang lain menyembah para raja. Namun di saat pagi, Nabi Ibrahim
mengingatkan kaumnya dan membuat mereka terkejut di mana bintang-bintang yang
diyakininya kemarin kini telah tenggelam. Ibrahim mengatakan bahwa ia tidak
menyukai yang tenggelam. Allah SWT berfirman:
"Ketika malam telah menjadi gelap, dia
melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala
bintang itu tenggelam, dia berkata: 'Saya tidak suka kepada yang tenggelam '"
(QS. al-An'am: 76)
Ibrahim kembali merenung dan memberitahukan
kaumnya pada malam kedua bahwa bulan adalah tuhannnya. Kaum Nabi Ibrahim tidak
mengetahui atau tidak memiliki kapasitas logika yang cukup atau kecerdasan yang
cukup, bahwa sebenarnya Ibrahim ingin menyadarkan dengan cara sangat lembut dan
dan penuh cinta. Bagaimana mereka menyembah tuhan yang terkadang tersembunyi
dan terkadang muncul atau terkadang terbit dan terkadang tenggelam. Mula-mula
kaum Nabi Ibrahim tidak mengetahui yang demikian itu. Pertama-tama Ibrahim
menyanjung bulan tetapi ternyata bulan seperti bintang yang lain, ia pun muncul
dan tenggelam. Allah SWT berfirman:
"Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan
terbit dia berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia
berkata: 'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah
aku termasuk orang-orang yang sesat.'" (QS. al-An'am: 77)
Kita perhatikan di sini bahwa beliau berbicara
dengan kaumnya tentang penolakan penyembahan terhadap bulan. Ibrahim berhasil
"merobek" keyakinan terhadap penyembahan bulan dengan penuh
kelembutan dan ketenangan. Bagaimana manusia menyembah tuhan yang terkadang
tersembunyi dan terkadang muncul. Sungguh, kata Ibrahim, betapa aku
membayangkan apa yang terjadi padaku jika Tuhan tidak membimbingku. Nabi
Ibrahim mengisyaratkan kepada mereka bahwa beliau memiliki Tuhan, bukan seperti
tuhan-tuhan yang mereka sembah. Namun lagi-lagi mereka belum mampu menangkap
isyarat Nabi Ibrahim. Beliau pun kembali menggunakan argumentasi untuk
menundukkan kelompok pertama dari kaum penyembah bintang yang tampak lebih
besar yakni matahari. Ibrahim berdialog dengan penyembah matahari. Beliau
memberitahukan bahwa matahari adalah tuhannya karena dia yang terbesar. Allah
SWT berfirman:
"Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.' Maka tatkala
matahari itu terbenam, dia berkata: 'Hai kaumkku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'"
(QS. al-An'am: 78-79)
Lagi-lagi Ibrahim memainkan peran yang penting
dalam rangka menggugah pikiran mereka. Para penyembah matahari tidak mengetahui
bahwa mereka menyembah makhluk. Jika mereka mengira bahwa ia adalah besar,
maka Allah SWT Maha Besar.
Setelah Ibrahim memberitahukan bahwa matahari
adalah tuhannya, beliau menunggu saat yang tepat sehingga matahari itu
tenggelam dan ternyata benar dia bagaikan sembahan-sembahan yang lain yang
suatu saat akan tenggelam. Setelah itu Ibrahim memploklamirkan bahwa beliau
terbebas dari penyembahan bintang. Ibrahim mulai memandang dan memberikan
pengarahan kepada kaumnya bahwa di sana ada Pencipta langit dan bumi. Argumentasi
Ibrahim mampu memunculkan kebenaran, tetapi sebagaimana biasa kebatilan tidak
tunduk begitu saja. Mereka mulai menampakkan taringnya dan mulai menggugat
keberadaan dan kenekatan Ibrahim as. Mereka mulai menentang Nabi Ibrahim dan
mulai mendebatnya dan bahkan mengancamnya. Hal ini dapat kita lihat dalam QS.
al-An'am: 80-81.
Kita tidak mengetahui sampai sejauh mana ketajaman
pergulatan antara Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan bagaimana cara mereka
menakut-nakuti Nabi Ibrahim. Al-Qur'an tidak menyinggung hal tersebut. Namun
yang jelas, dari cerita tersebut, Al-Qur'an mengemukakan bahwa Nabi Ibrahim
menggunakan logika seseorang yang berpikir sehat. Menghadapi berbagai tantangan
dan ancaman dari kaumnya, Nabi Ibrahim justru mendapatkan kedamaian dan tidak
takut kepada mereka, seperti yang tertuang dalam firman Allah QS. al-An'am: 82.
Bahkan Allah SWT selalu memberikan hujah atau
argumentasi yang kuat kepada Nabi Ibrahim sehingga beliau mampu menghadapi
kaumnya. Allah SWT berfirman: "Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan
kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. " (QS. al-An'am: 83)
Ibrahim didukung oleh Allah SWT dan diperlihatkan
kerajaan langit dan bumi. Demikianlah Nabi Ibrahim terus melanjutkan
penentangan pada penyembahan berhala. Tentu saat itu pergulatan dan
pertentangan antara beliau dan kaumnya semakin tajam dan semakin meluas. Namun
beban yang paling berat adalah saat beliau harus berhadapan dengan ayahnya, di
mana profesi si ayah dan rahasia kedudukannya merupakan biang keladi dari
segala penyembahan yang diikuti mayoritas kaumnya. Nabi Ibrahim pun berdakwah kepada
bapak dan kepada kaumnya. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Anbiya': 52-56.
Nabi Ibrahim As Berdakwah kepada Ayahnya
Dari sini mulailah terjadi pergulatan antara Nabi
Ibrahim dan kaumnya. Tentu yang termasuk orang yang paling menentang beliau dan
marah kepada sikap beliau itu adalah ayahnya atau pamannya yang mendidiknya
laksana seorang ayah. Akhirnya, si ayah dan si anak terlibat dalam pergulatan
yang sengit di mana kedua-duanya dipisahkan oleh prinsip-prinsip yang berbeda.
Si anak bertengger di puncak kebenaran bersama Allah SWT sedangkan si ayah
berdiri bersama kebatilan. Si ayah berkata kepada anaknya: "Sungguh besar
ujianku kepadamu wahai Ibrahim. Engkau telah berkhianat kepadaku dan bersikap
tidak terpuji kepadaku." Ibrahim menjawab:
"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah
sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu
sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu
pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah
setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai
bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.'" (QS. Maryam: 42-45)
Sang ayah segera bangkit dan ia tak kuasa lagi
untuk meledakkan amarahnya kepada Ibrahim:
"Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai
Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan aku rajam, dan
tinggalkanlah aku buat waktu yang lama." (QS. Maryam: 46)
Akhirnya, pertentangan itu membawa akibat
pengusiran Nabi Ibrahim dari rumahnya, dan beliau pun terancam pembunuhan dan
perajaman. Meskipun demikian, sikap Nabi Ibrahim tidak pernah berubah. Beliau
tetap menjadi anak yang baik dan Nabi yang mulia. Beliau berdialog dengan
ayahnya dengan menggunakan adab para nabi dan etika para nabi. Ketika mendengar
penghinaan, pengusiran, dan ancaman pembunuhan dari ayahnya, beliau berkata
dengan lembut:
"Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku
akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku, sesungguhnya Dia sangat baik
kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru
selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan
kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku.'" (QS. Maryam: 47-48)
Nabi Ibrahim pun keluar dari rumah ayahnya. Beliau
meninggalkan kaumnya dan sesembahan-sembahan selain Allah SWT. Namun beliau
menetapkan suatu urusan dalam dirinya, beliau menunggu sebuah pesta besar yang akan
menjadi tindakan yang akan ia lakukan sesuatu padanya.
Menghancurkan berhala-berhala
Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan
penduduk kerajaan Babilonia bahwa setiap tahun mereka keluar kota
beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka anggap sebagai keramat. Berhari-hari mereka tinggal diluar kota
di suatu padang terbuka, berkemah dengan membawa perbekalan makanan dan minuman
yang cukup. Mereka bersuka ria dan bersenang-senang sambil meninggalkan
kota-kota mereka kosong dan sunyi. Mereka berseru dan mengajak semua penduduk
agar keluar meninggalkan rumah dan turut beramai -ramai menghormati hari-hari
suci itu. Jalan-jalan yang menuju tempat penyembahan menjadi sepi dan tempat
penyembahan itu pun ditinggalkan oleh penjaganya. Semua orang mengikuti pesta
itu.
Dengan penuh hati-hati, Ibrahim memasuki tempat
penyembahan dengan membawa kapak yang tajam. Ibrahim melihat patung-patung
tuhan yang terukir dari batu-batu dan kayu-kayu. Ibrahim pun melihat makanan
yang diletakkan oleh manusia di depannya sebagai hadiah dan nazar. Ibrahim
mendekat pada patung-patung itu. Kepada salah satu patung—dengan nada
bercanda—ia berkata: "Makanan yang ada di depanmu hai patung telah dingin.
Mengapa engkau tidak memakannya. Namun patung itu tetap membisu." Ibrahim
pun bertanya kepada patung-patung lain di sekitarnya. Hal ini terdapat dalam
QS. ash-Shaffat: 91.
Ibrahim mengejek patung-patung itu. Ibrahim
mengetahui bahwa patung itu memang tidak dapat memakannya. Ibrahim bertanya
kepada patung-patung itu:
"Mengapa kamu tidak menjawab?" (QS.
ash-Shaffat: 92)
Ibrahim pun langsung mengangkat kapak yang ada di
tangannya dan mulai menghancurkan tuhan-tuhan yang palsu yang disembah oleh
manusia. Ibrahim menghancurkan seluruh patung-patung itu dan hanya menyisakan
satu patung, lalu beliau menggantungkan kapak itu dilehernya. Setelah
melaksanakan tugas itu, beliau pergi menuju ke gunung. Beliau telah bersumpah
untuk membawa suatu bukti yang jelas, bahkan bukti praktis tentang kebodohan
kaumnya dalam menyembah selain Allah SWT.
Akhirnya, pesta perayaan itu selesai dan manusia
kembali ke tempat mereka masing-masing. Dan ketika salah seorang masuk ke
tempat sembahan itu ia pun berteriak. Manusia-manusia datang menolongnya dan
ingin mengetahui apa sebab di balik teriakan itu. Dan mereka mengetahui bahwa
tuhan-tuhan mereka semuanya telah hancur dan yang tersisa hanya satu. Mereka
mulai berpikir siapa penyebab semua ini. Akhirnya mereka pun mengetahui dan
menyadari bahwa ini adalah ulah Ibrahim yang telah mengajak mereka untuk menyembah
Allah SWT:
"Mereka berkata: "Kami dengar ada
seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama
Ibrahim"." (QS. al-Anbiya': 60)
Mereka segera mendatangi Ibrahim. Ketika Ibrahim
datang mereka bertanya kepadanya: "Mereka bertanya: "Apakah benar
engkau yang melakukan semua ini terhadap tuhan kami wahai Ibrahim?" (QS.
al-Anbiya': 62) Ibrahim membalas dengan senyuman lalu ia menunjuk kepada tuhan
yang paling besar yang tergantung di lehernya sebuah kapak. Ibrahim menjawab:
"Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah
kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". " (QS. al-Anbiya':
63)
Para dukun berkata: "Siapa yang harus kita
tanya?" Ibrahim menjawab: "Tanyalah kepada tuhan kalian."
Kemudian mereka berkata: "Bukankah engkau mengetahui bahwa tuhan-tuhan itu
tidak berbicara." Ibrahim membalas: "Mengapa kalian menyembah sesuatu
yang tidak mampu berbicara, sesuatu yang tidak mampu memberikan manfaat dan
sesuatu yang tidak mampu memberikan mudarat. Tidakkah kalian mau berpikir
sebentar di mana letak akal kalian. Sungguh tuhan-tuhan kalian telah hancur
sementara tuhan yang paling besar berdiri dan hanya memandanginya. Tuhan-tuhan
itu tidak mampu menghindarkan gangguan dari diri mereka, dan bagaimana mereka
dapat mendatangkan kebaikan buat kalian. Tidakkah kalian mau berpikir sejenak.
Kapak itu tergantung dituhan yang paling besar tetapi anehnya dia tidak dapat
menceritakan apa yang terjadi. Ia tidak mampu berbicara, tidak mendengar, tidak
bergerak, tidak melihat, tidak memberikan manfaat, dan tidak membahayakan. Ia
hanya sekadar batu, lalu mengapa manusia menyembah batu? Di mana letak akal
pikiran yang sehat?" Allah SWT menceritakan peristiwa tersebut dalam
firman-Nya QS. al-Anbiya': 51-68
Nabi Ibrahim mampu menundukkan mereka dengan argumentasi dan logika
berpikir yang sehat. Tetapi mereka membalasnya dengan menetapkan akan
menggantungnya di dalam api. Sungguh ini sangat mengherankan. Suatu mahkamah
yang mengerikan digelar di mana si tertuduh akan dihukum dengan pembakaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar